KOTA DAN KEGIATAN DAGANG DI NUSANTARA
KOTA
DAN KEGIATAN DAGANG DI NUSANTARA
OLEH
SATRIYO
PAMUNGKAS
(Orang
Jawa) adalah semua orang yang berpengalaman di dalam seni navigasi, sampai
mereka mengatakan bahwa inilah seni yang paling kuno, meskipun banyak orang
lain menunjukkan rasa hormat ini kepada orang Cina, dan menegaskan bahwa seni
ini diteruskan dari mereka kepada orang Jawa. Tetapi yang pasti adalah mereka
dahulu berlayar ke tanjung Harapan, dan mengadakan hubungan dengan pantai timur
Pulau S. Laurenzo (Madagaskar),
dimana sekarang banyak dijumpai penduduk asli berkulit coklat dan seperti orang
Jawa yang mengatakan bahwa mereka adalah keturunan orang Jawa.[1]
Wilayah Nusantara
dilalui dua angin,
keadaan demikian berlangsung sepanjang tahun. Angin timur
laut waktu melintas garis khatulistiwa berubah arah menjadi angin barat laut.
Sedangkan angin pasat tenggara waktu melintasi garis khatulistiwa berubah
menjadi angin barat daya. Lagi pula wilayah Nusantara (Indonesia) terletak di antara Benua Asia dan Benua Australia
mempunyai pengaruh besar pada berhembusnya angin. Iklim panas salah satu benua
akan membawa perubahan pada arah angin. Apabila di Benua Asia terjadi musim
panas maka tekanan udara di utara menjadi minimum
(rendah). Angin berhembus dari Australia ke Benua Asia yang arahnya ke barat.
Sementara itu, apabila di Australia terjadi musim panas maka angin dari Benua Wilayah Nusantara
dilalui dua angin.
|

Sistem
angin muson[2]
yang berhembus dari timur ke barat dan dari barat ke timur selama enam bulam
sekali secara bergantian mendukung Nusantara ikut serta dalam kegiatan
perdagangan internasional dan menjadi pola perdagangan maritim Asia[3]
serta berkembang pelabuhan-pelabuhan di antara kawasan Asia Tenggara.[4]
Namun hal ini terjadi pada kawasan Nusantara secara umum, tidak seperti apa
yang terjadi di Pantai Barat Sumatra yang tidak di temui angin musim yang
berpola. Hal ini disebabkan posisi wilayah pantai barat berhadapan langsung
dengan Samudra Hindia, relatif terbebas dari pengaruh tekanan udara yang di
akibatkan oleh arus panas di Benua Asia dan Australia serta dibagi dua oleh
garis equator merupakan penyebab
utama penyimpangan pola angin musim di kawasan ini.[5]
Perkembangan perdagangan mengakibatkan
bertumbuh pula kota-kota di daerah pesisir pantai baik di Pantai Sumatra maupun
Jawa dalam hal perdagangan maupun pembuatan kapal atau penyewaan kapal-kapal
yang dipergunakan untuk perdagangan baik dekat maupun jauh yang memiliki nilai
sewanya masing-masing. Hal ini apa yang dilakukan oleh orang-orang Bugis tarif
jasa tergantung pada jaraknya, untuk sektor paling dekat kawasan Indonesia
Timur sebesar 2,5 real dan untuk perlayaran jarak jauh dari Sulewesi ke Aceh
atau Kamboja biayanya 7 real.[6]
Kapal-kapal dagang Nusantara pada umumnya menggunakan layar dan bisa memuat
kapasitas 100-200 orang.[7]
Orang-orang bugis dan Makasar memproduksi kapal yang dikenal dengan Kapal Pinisi yang mampu berlayar ke Timur
sampai Australia dan ke Barat sampai Pulau Madagaskar.[8]
Itulah sebabnya orang-orang Bugis dan Makasar di kenal sebagai pelaut-pelaut
ulung dan menjadi kota-kota memproduksi kapal-kapal sampai saat ini.

Gambar.
Model Kapal Pinisi
Sumber:
http://www.seputarwisata.com/tempat-wisata-raja-ampat/kapal-pinisi-raja-ampat/
Perdagangan
di daerah pedalam relatif jarang dicatat, namu dapat dipastikan bahwa di daerah
pedalaman juga terjadi kontak perdagangan dengan bangsa-bangsa lain melalui
jalur sungai, walaupun barang dagangnya tidak sebanyak apa yang terjadi di
daerah pesisir. Tidak heran pada zaman perdagangan adalah masa pertumbuhan pelabuhan,
kota-kota maupun pemukiman yang berkelanjutan yang meledak menjadi kota-kota
dagang maju dan berkembang sehingga membentuk suatu Negara atau kerajaan.
Pemukiman akhirnya tidak terpusat di daerah pantai-pantai namun di daerah
pedalam-pedalaman tetapi tepi sungai pun menjadi pusat pemukiman bagi
masyarakat. Menurut Wertheim, Kota-kota pedalaman terutama menjalankan fungsi administratif,
sedangkan kota-kota pantai merupakan tempat pertemuan dengan para pedagang
asing, karena itu orang-orangnya lebih kosmopolitan.[9]
Namun menurut Murphy di sebagaian yang ada di Asia Tenggara kepualauan tumbuh
di pedalaman. Hal ini dikarenakan dapat memungkinkan menjalankan fungsi
administratifnya dan mengontrol wilayah teritorial Negara.[10]
Seperti
apa yang terjadi di pulau Sumatra perdagangan melalui sungai dimulai dari
Batang Natal berhulu dekat Sarah Doreh di kaki bukit Sitampak dan bermuara di
kota Natal. Dari muaranya hingga Sikambo. Sungai ini dapat dilayari oleh perahu
yang relatif besar dengan muatan kopi hingga 3-4 ton. Sedangkan dari Sikambo ke
arah hulu hanya bisa dilayari oleh perahu yang relatif lebih kecil dengan
muatan 0,5-1 ton.[11]
Hubungan
Nusantara dengan Negara-Negara luar menimbulkan pusat-pusat perdagangan. Di
wilayah Asia sendiri pusat-pusat perdagangan terdapat di wilayah Malaka, India,
Cina,dan Teluk Persia. Di Selat Malaka tumbuh dan berkembang pusat-pusat yang membentuk
suatu kota-kota pelabuhan dan perdagangan penting seperti Samudra Pasai di
Aceh, Sriwijaya, dan Johor, sedangkan di Jawa muncul kota-kota pelabuhan dagang
seperti Banten, dan Sunda Kalapa.[12]
Sejarawan Belanda, J.C. Van Leur, menjelaskan
barang-barang yang diperdagangkan dalam pasaran internasional di Asia Tenggara
pada waktu itu ialah barang-barang bernilai. tinggi, seperti: logam mulia (emas
dan perak), perhiasan, barang tenunan, barang pecah belah dan berbagai barang
kerajinan, wangi-wangian serta obat-obatan. Selain itu, keterangan yang
bersumber dari negeri Cina. Hubungan Indonesia dengan Cina pada masa itu
merupakan hubungan langsung antara kedua negara. Atau dapat pula hubungan itu
merupakan pelayaran yang lebih luas antara Asia Barat dengan Cina. Menurut O.W.
Wolter, pelayaran dagang melalui perairan laut Cina Selatan pertama kali
terjadi pada kurun waktu antara abad ke-3 dan ke-5 tarikh Masehi. Kendatipun
demikian bukti-bukti yang pasti menunjukkan bahwa pelayaran itu mulai terjadi
pada permulaan abad ke-5.[13]
Sejarawan Gusti Anan dalam bukunya “Dunia Maritim Pantai Barat Sumatra” dari
beberapa kutipannya menjelaskan jauh sebelum Isa Almasih kawasan dibagian barat
Nusantara (Indonesia) telah terlibat dalam kegiatan perdagangan dan pelayaran
dengan kawasan Asia Selatan, Afrika, dan Cina. Pada abad pertama hingga abad ke
lima Masehi, sumber-sumber Cina menyatakan telah ada beberapa kerajaan merdeka
dipulau Sumatra. Kerajaan-kerajaan ini terlibat dalam kegiatan perdagangan dan
pelayaran dengan India dan Cina.[14]
Para pedagang ini bersifat sendiri-sendiri, bersama dengan barang dagangnya,
selama berbulan-bulan tersebut ketika awak kapal dan penumpang berada di Bandar
kawasan Asia Tenggara, mereka memenuhi perkampungan kota, meramaikan pasarnya,
dan ikut serta dalam upacara-upacara ritual.[15]
Bronson (1977) menjelaskan pola
pemukiman dan perdagangan di Sumatra Selatan pada masa klasik yang dibentuk
oleh aliran sungai, pusat pemukiman dan kegiatan perdagangan harus ditemukan di
dekat Muara Sungai di Selat Malaka atau Selat Bangka. Ke arah hulu, di dekat cabang
sungai yang pertama, kedua, dan seterusnya akan di jumpai pusat-pusat yang
semakin rendah dan di daerah paling hulu akan ditemukan kelompok-kelompok
peramu yang megumpulkan macam-macam hasil hutan dan komoditi tradisional
lainnya. Barang-barang tersebut selanjutnya dialirkan ke arah muara sungai
hingga ada tingkat yang tertinggi untuk disalurkan kepada konsumen di luar
Sumatra melalui pelabuhan-pelabuhan besar di pinggir pantai. Perkembangan
pelabuhan ini tergantung seluruhnya pada permintaan barang komoditi oleh
kerajaan besar dari luar. Maka, tampa permintaan dari luar, pusat pemukiman dan
peradaban tinggi tidak akan muncul di tempat tersebut.[16]
Kejayaan
suatu negeri dinilai dari luasnya wilayah, penghasilan per tahun, dan ramainya
pelabuhan. Hal itu disebabkan, kekuasaan dan kekayaan kerajaan-kerajaan di
Sumatera bersumber dari perniagaan, sedangkan di Jawa, kedua hal itu bersumber
dari pertanian dan perniagaan. Di masa pra kolonial, pelayaran niagalah yang
cenderung lebih dominan. Namun dapat dikatakan bahwa di Indonesia secara
keseluruhan, pertanian dan perniagaan sangat berpengaruh dalam perkembangan
perekonomian Nusantara, bahkan hingga saat ini.
Kota-kota
kuno di Nusantara (Indonesia) tidak tumbuh spontan atas kehendak komunitas
pedagang atau pengrajin, tetapi tergantung pada kehendak raja baik dalam
pemilihan tempat, desain, maupun ukurannya. Pemilihan kota dipengaruhi oleh
pertimbangan tempat yang menguntungkan secara ekonomis dan letaknya dengan pelabuhan.
Seperti kota kuno di Jawa memiliki cirri yaitu seperti adanya alun-alun dan
bangunan mengikuti empat arah mata angin dengan jalan bersilang membentuk
siku-siku. Model seperti ini sama bentuknya dengan kota-kota di pedalaman
maupun di pantainya. Inilah yang menyebabkan kota-kota periode ini lebih
bersifat statis dari pada dinamis.[17]
Perkembangan
perniagaan atau perdagangan di wilayah Nusantara pada dasarnya tidak kalah maju
dengan perkembangan di Eropa. Bahkan menurut Ricklefs, Eropa bukan merupakan
wilayah termaju di dunia. Wilayah yang sedang berkembang waktu itu justru dunia
Islam yang mencakup sebagian Timur Tengah sampai wilayah Nusantara.[18]
Hal ini dapat diartikan bahwa Nusantara telah menjadi suatu wilayah yang
berkembang dalam dunia perdagangan yang terjalin dalam hubungan dagang
internasional dengan Cina, India, Arab dan Negara-Negara Asia lainnya.
Di
Jawa muncul Kota Banten yang letaknya di tepi sungai Cibanten yang menjorok ke
laut Jawa sangat menguntungkan. Lokasi ini menghubungkan jalan maritim dan
darat sehingga memudahkan komunikasi antara laut dan pedalaman. Melalui sungai
Cibanten dan anak-anak sungainya, hasil yang diperoleh dari daerah hulu dibawa
ke pelabuhan untuk diperdagangkan. Sebaliknya berbagai barang dagang dari pasar
di hilir diangkut ke hulu melewati jalan yang lama, jadi jalan air merupakan
urat nadi kota Banten. Lada merupakan produksi terpenting bagi kesultanan
Banten yang banyak di budidayakan di pedalaman dan salah satu rempah-rempah
yang banyak dicari oleh pedagang Eropa.[19]

Gambar.
Peta Cirebon.
Sumber:
https://tatangmanguny.wordpress.com/sejarah-kabupaten-majalengka-bunga-rampai/misteri-sindangkasih-majalengka/
Menurut catatan perdagangan Cina
disebut sebagai Ko-ying yang berada di suatu tempat sebelah tenggara Sumatra
merupakan tempat yang baik untuk mengontrol lalu lintas antara India dan Cina
melalui Selat malaka maupun Selat Sunda. Ko-ying disebut-sebut sebagai terminal
bagi kapal yang mengangkut rempah-rempah yang hendak menuju Cina dan India.[20]
Meskipun Ko-ying memiliki posisi yang berpengaruh dalam lintas perdagangan
internasional, namun bukan berarti satu-satunya kekuatan yang ada. Hal ini
dikarenakan tidak banyak diketahui mengenai Ko-ying ini dan tidak ada pula
sumber-sumber yang mendukung lebih kuat pengaruh Ko-ying itu sendiri.

Gambar. Trade Routes Of Southeast
Aisa
Sumber: http://www.klikgugel.xyz/
Muncul nama Kan-to-li yang memiliki
catatan sejarah dari tahun 441 M hingga 563 M, mencakup wilayah Sumatra Selatan
yang luas termasuk lembah-lembah Sungai Batanghari dan Sungai Musi. Kan-to-li
merupakan bagian dari rantai pemerintahan yang telah terorganisasi yang memberi
Nusantara (Indonesia) sebagai dominasi yang absolute
atas wilayah Selat Malaka dan Selat Sunda selama lebih dari seribu tahun dan
merupakan kerajaan pertama yang memeluk agama Buddha di Indonesia.[21]
Kerajaan Sriwijaya salah satu
kerajaan maritim yang kekuatan bertumpu pada perdagangan internasional.
Sriwijaya tumbuh berkembang menjadi pusat perdagangan di wilayah pantai Sumatra
yang mengamankan jalur perdagangan di sekitar Selat Malaka. Kontak perdagangan
ini menyebabkan Nusantara melalui Sriwijaya bersentuhan dengan peradaban
Hindu-Buddha (India), Konfusianisme dan Taoisme (Cina), dan Islam (Timur
Tengah) sehingga memperkaya penduduknya dalam suatu kota-kota dagang pada kurun
masa perdagangan. Sriwijaya memiliki kapal sendiri untuk perdagangan dan
pelayarannya meliputi Asia Tenggara sampai ke India, bahkan sampai ke
Madagaskar serta mewajibkan setiap kapal dagang yang lewat di Selat Malaka
untuk mampir di pelabuhan Sriwijaya.[22] Terdapatnya
sungai-sungai kecil dan besar yang mengalir sampai ke Selat Malaka dan Samudra
Hindia mengakibatkan pada masa ini memunculkan konsep-konsep tentang pinggiran
yang cocok dengan Negara-negara kota berbasis Bandar yang menjadi kediaman sang
penguasa.[23] Ada
beberapa daerah berdasarkan tulisan Coedes seperti Negeri Bentan, Malaka, dan
Indrapura, sebagai wilayah berdasarkan anak sungai maupun daerah-daerah di
aliran sungai.[24]

Gambar. Model Kapal Sriwijaya
Politik dunia Melayu adalah
organisasi berdasarkan hirerarkis hulu-hilir yang melibatkan sebuah titik pusat
primer dibagian hilir sungai utama, dan serangkaian pusat sekunder. Sistem-sistem
daerah aliran sungai sudah mempersyaratkan adanya jaringan kompleks antara
pusat di hilir dan aneka pusat sekunder di hulu. Kota Bandar utama bertugas
mengendalikan aliran barang dagang yang masuk, atau di ekspor dari sentero daerah aliran sungai. Maka dari
itu kota Bandar harus menjalin hubungan dengan masyarakat hulu yang memiliki
akses terhadap produksi pedalaman.[25]
Hal ini berarti sudah terbentuk kota-kota dagang di daerah pedalaman namun sepertinya
belum memiliki suatu sistem pemerintahan yang kuat, karna dalam buku Coedes
tidak disebutkan nama kota-kotanya, namun hanya menyebutkan masyarakat di
sepanjang aliran sungai (DAS).
Letak pulau Sumatra sangat strategis
karena terletak di tepi jalur lintas perdagangan antara Persia, Tiongkok, dan India.
Selain itu Sumtra juga memiliki kelebihan sumber daya alam yang menjadi
komoditas penting pada kala purba, yaitu kapur barus dan emas.[26]
Salah satu pelabuhan terkenal di Sumatra adalah Jambi yang merupakan pelabuhan
pengekspor lada yang banyak dihasilkan di daerah pedalaman, seperti minangkabau
yang di angkut melalui sungai Indragiri, Kampar, lalu ke Batanghari.[27]
Hal ini mempunyai arti bahwa Jambi merupakan kota pelabuhan dagang di jalur Malaka
baik barang dagang yang datang dari Jawa, Cina, India dan yang lainnya.[28]
Bukan hanya di Jambi di daerah-daerah lain juga terbentuk kota-kota pelabuhan
seperti yang terjadi di Gresik, Maluku dan Banda. Hal ini dikarenakan
perdagangan yang paling ramai ialah kain tenun yang di datangkan dari segala
penjuru yang di borong oleh pedagang Gresik yang kemudian dijual di Maluku dan
Banda.[29]
Perdagangan berlangsung bukan hanya
dalam system ekonomi dimana terjadi system jual beli yang saling menguntungkan,
namun terjadi peristiwa import budaya di Nusantara. Persia, India, Cina
sama-sama membawa pengaruh bagi budaya masyarakat Nusantara Khususnya di
wilayah-wilayah pesisr pantai baik Sumatra maupun Jawa dan daerah lainnya yang
secara tidak langsung menancapkan pengaruhnya yang terkadang silih berganti di
suatu wilayah di Nusantara. Sehingga terjadi akulturasi Budaya di masyarakat
Nusantara. Menurut Sartono (2014) kota-kota pantai terdapat protagonis[30]
agama Islam seperti di Tuban, Gresik, Cirebon, dan sebagainya. Hal ini
mengakibatkan di dalam kehidupan masyarakat terjadi campuran antara Islam dan
Jawa-Hindu, seperti memelihara anjing.[31]
Dalam aktivitas perdagangan
kerajaan-kerajaan telah mengenal dan terus berkembang dalam tiga jenis
hubungan. Pertama, penguasa yang merupakan para penguasa di pelabuhan-pelabuhan
yang berdekatan dengan sungai-sungai besar, yang dapat mengendalikan pergerakan
dari daerah pedalaman menuju wilayah pantai, dan sebaliknya. Kedua, produsen
dalam bidang kehutanan, pertanian, dan pertambangan yang membawa kemakmuran
bagi kerajaan. Ketiga, pelaut kerajaan yang kadang-kadang independen yang
melindungi wilayah kerajaan dari para bajak laut yang jahat, mengawaki kapal
armada dagang. Keempat, pemukiman atau pusat-pusat kota terbentuk di pinggir
pantai dan di daerah pedalaman yang saling bekerjasama dalam hal perdagangan.
Kelima, Selat Malak dan Selat Sunda (Pulau Jawa) menjadi wilayah yang ramai di
kunjungi dan terjadi kontak antar budaya. Keenam, suku-suku pelaut terbentuk
dalam kelompok-kelompok pelaut nomaden seperti Mawken yang merupakan kelompok
manusia perahu, dan disekitar Kalimantan dan di Selat antara Singapura dan
Sumatra, terdapat komunitas orang laut,
seperti Orang Tambus, Orang Mantang, Orang Barok, Orang Galang, Orang Sakanak, Orang
Bajau, Orang Posik, Orang Moro, dan Orang Sugi[32]
yang dapat diteliti lebih jauh mengenai asal-usulnya.
Daftar Referensi
Anthony Reid. 2011. Asia Tenggara dalam Kurun Niaga 1450-1680. Jilid II. Jakarta:
Pustaka Obor Indonesia.
Bambang
Budi Utomo. 2011. Kebudayaan Zaman Klasik Indonesia di Batanghari. Jambi: Dinas
Kebudayaan dan Pariwisata.
Gusti Asnan. 2007. Dunia
Maritim Pantai Barat Sumatra. Jogjakarta: Ombak.
Kardiyat Wiharyanto. 2006. Sejarah Indonesia Madya Abad XVI-XIX. Jogjakarta: Sanata Dharma
Sartono
Kartodirdjo. 2014. Pengantar Sejarah
Indonesia Baru 1500-1900 Dari Emporium sampai Imporium, Jogjakarta: Ombak
Supraktikno Rihardjo.2007. Kota-Kota Pra Kolonial Indonesia. Jakarta: Komunitas Bambu.
http://studyandlearningnow.blogspot.co.id/2013/01/sejarah-perdagangan-di-indonesia.html.
di akses tanggal 21-3-2017.
Muhammad Iskandariah.
Nusantara dalam era Niaga sebelum Abad ke 19 http://wacana.ui.ac.id/index.php/wjhi/article/viewFile/306/289.
di akses tanggal 20-3-2017
Robert Dick Read. 2008. Penjelajah Bahari. Bandung: Mizan
Coedes. 2014. Kedatuan Sriwijaya. Edisi II. Jakarta:
Komunitas Bambu.
[1]
Anthony Reid. Asia Tenggara dalam Kurun
Niaga 1450-1680. Jilid II. (Jakarta: Pustaka Obor Indonesia.2011), hlm 45
[2]
Orang Eropa menerima istilah itu sebagai monsoon
untuk menggambarkan keteraturan yang luar biasa mengenai angin di Asia Tropis. Lihat Reid. Hlm 77.
[3]
Reid. Ibid. hlm 77
[4]
Reid. Ibid. hlm 78
[5]
Gusti Asnan. Dunia Maritim Pantai Barat
Sumatra. (Jogjakarta: Ombak. 2007) hlm, 27
[6]
Reid. Ibid. hlm 61
[7]
Kardiyat Wiharyanto. Sejarah Indonesia
Madya Abad XVI-XIX. (Jogjakarta: Sanata Dharma,, 2006) hlm, 4
[8]
Kardiyat Wiharyanto. Ibid. hlm 4
[9] Supraktikno
Rihardjo. Kota-Kota Pra Kolonial
Indonesia. (Jakarta: Komunitas Bambu. 2007) hlm 31
[10]
Rihardjo. Ibid. hlm 37
[11] Gusti
Asnan. Dunia Maritm Pantai Barat Sumtra.
(Jogjakarta: Ombak. 2007) hlm 24
[12]
A. Kardiyat Wiharyanto.Sejarah Indonesia
Madya. (Yogyakarta: Universitas Sanata Dharma, 2006) hlm. 5
[13] http://studyandlearningnow.blogspot.co.id/2013/01/sejarah-perdagangan-di-indonesia.html.
di akses tanggal 21-3-2017.
[14]
Gusti Asnan. Op.Cit. hlm 48
[15]
Reid. Op.cit. Hlm 78
[16]
Supraktikno Rihardjo. Kota-Kota Pra
Kolonial Indonesia. (Jakarta: Komunitas Bambu. 2007) hlm. 25
[17]
Rihardjo. Ibid. hlm 32
[18]
Muhammad Iskandariah. Nusantara dalam era Niaga sebelum Abad ke 19 http://wacana.ui.ac.id/index.php/wjhi/article/viewFile/306/289.
di akses tanggal 20-3-2017
[19]
Rihardjo. Ibid. hlm 27
[20]
Robert Dick Read. Penjelajah Bahari.
(Bandung: Mizan, 2008) hlm 78
[21]
Robert Dick Read. Ibid. hlm 78-79
[22]
Muhammad Iskandariah. Ibid. Hlm 176-177
[23]
Coedes. Kedatuan Sriwijaya. (Jakarta: Komunitas Bambu. Edisi ke II. 2014) hlm
316
[24]
Coedes. Ibid. hlm 317
[25]
Coedes. Ibid. hlm 317,319
[26]
Bambang Budi Utomo. Kebudayaan Zaman
Klasik Indonesia di Batanghari, (Jambi: Dinas Kebudayaan dan Pariwisata,
2011), hlm 6
[27]
Sartono Kartodirdjo. Pengantar Sejarah Indonesia Baru 1500-1900 Dari Emporium
sampai Imporium, (Jogjakarta: Ombak, 2014) hlm 78
[28]
Sartono kartodirdjo. Ibid. hlm 21
[29] Ibid, hlm 22
[30]
Protagonis dalam KBBI adalah tokoh utama. Dalam hal ini di daerah-daerah Tuban, Gresik, dan Cirebon terdapat
tokoh-tokoh ulama atau agama yang beragama Islam.
[31]
Sartono Kartodirdjo. OpCit. Hlm 23
[32]
Robert Dick Read. Penjelajah Bahari.
(Bandung: Mizan, 2008) hlm 78
Komentar
Posting Komentar