Sejarah Kedatangan Orang Tionghoa di Kota Jambi
SEJARAH KEDATANGAN
ORANG TIONGHOA DI KOTA JAMBI
OLEH
SATRIYO PAMUNGKAS
1.1.Sejarah Orang
Tionghoa di Nusantara
Pada awal aba ke 17, sebelum kolonialis belanda datang ke
indonesia, bangsa Indonesia dengan tiongkok telah terlibat dalam hubungan
perdagangan. Hubungan
ini telah di mulai sejak datangnya di nasti Han ( 206 SM – 220 M ). Pada masa
ini, tiongkok telah membuka jalur perdagangan dengan negara- negara yang ada di
kawasan asia tenggara. Sampai saat ini belum dapat dipastikan siapa orang Cina
yang pertama kali menginjakan kakinya di Nusantara ini, Fa Hian seorang penedeta
Cina ( 400 M ) dalam perjalanan pulang dari india ke Cina dia singgah di pulau
jawa selama lima bulan ( cator,1936:2) Fa Hian melaporkan pada saat itu belum
ada orang cina di Jawa. It Sing pengelana Cina yang melewati nusantar pada
tahun 671-692 dia melaporkan telah berdiri kerajaan Ho-Ling. Ho-Ling di duga
adalah kerajaan Kalingga ( Vlekke,1967:27-30 ). Sampai abad ke XIII M hubungan
orang Cina dan Nusantara hanya berupa kunjugan pendeta, pada masa dinasti Tang
( 618-907 ) ditemukan diskripsi bahwa seorang raja Cina menerima upeti dari
kerajaan Sumatra ( Sanbotsai ) ( Heri,Purwanto. 2005: 39 ).
Berdasarkan catatan sejarah
dalam buku tang-baru-bangsa-bangsa asia di selatan, di sebutkan bahwa hubungan
antara kerajaan sriwijaya dan tiongkok memiliki ke istimewaan. Pada saat itu,
banyak bitsu dari tiongkok yang berkunjung ke sriwijaya untuk melakukan
pertukaran budaya seni, serta untuk belajar bahasa sangsekerta. Pada saat itu
sriwijaya mengguasai jalur utama lalu lintas di semenanjung malaya bahkan merupakan
salah satu kerajaan terbesar di asia tenggara dan merupakan pusat penelitian
bagi agama budha di kawasan asia tenggara pada abad ke-7, banyak bidsu dari
tiongkok memper dalam agama budhanya di india, sebelum ke india sering singgah
di sriwijaya terlebih dahulu untuk mempelajari bahasa sangsekerta untuk
beberapa waktu, dan tidak sedikit juga para bidsu menetap di sumatra dan jawa.
( Hembing. 2005 : 19 )
Hubungan antara Tionghoa
dengan Indonesia setelah adanya laksamana Cheng-Ho ke nusantara pada abad ke
15, pada saat itu cheng-Ho menjalankan misi dari kaisar Cheng-Zhu untuk
menjalankan politik kerukunan dan persahabatan dengan bangsa-bangsa asing,
termasuk nusantara. Pada saat kedatangan Cheng-Ho ke nusantara sudah banyak
Orang tionghoa yang bertempat tinggl di Jawa, Kalimantan, dan sumatra. Jumlah
imigran semakin bertambah ketika terjadi penyerangan bangsa manchu terhadap
dinasti Ming, sehingga banyak penduduk tiongkok yang bermigrasi untuk
menghindari peperangan, jika pada tahun 1628 jumlah penduduk tiongkok berjumlah
3000 jiwa, maka pada saat tahun 1739 meningkat menjadi 10.574 jiwa. ( Hembing.
2005: xii )
Jawa dan sumatra temasuk jalur
perdagangan. Lambat laun, banyak penduduk tiongkok yang bermigrasi ke kepulauan
nusantar, baik para pedagang ataupun pendeta. karena daerah nusantara sangat
subur di bandingkan dengan negeri tiongkok yang tandus serta kerap terjadi
peperangan dan bencana alam.
Gelombang imigrasi orang
tionghoa ( terutama daerah selatan seperti Fujian, Guangdong, Hainan dan
Teochew ) ke Indonesia sekitar abad ke 19 dan membawa banyak percampuran
budaya. Termasuk arsitektur, hal ini karena beberapa kelompok imigran Cina
adalah para tukang ahli kayu dan ukir-ukiran
( Http//: Fadila75@Yahoo.com. Di akses april 2009 ).
Kebanyakan imigran tiongkok yang bermigrasi adalah
laki-laki dan mereka tidak membawa istri dari negeri asalnya, maka mereka di
negeri Nusantara ini menikahi penduduk setempat dan menetap di nusantara (Leo.
1994:20). Oleh karena itu munculah Tionghoa peranakan yang kemudian merasa
lebih menjadi orang indonesia, sebab mereka lahir, besar, bekerja, dan
meninggal di bumi nusantara, bahkan sebagian besar mereka tidak bisa berbahasa
Tionghoa, serta menganggap Indonesia sebagai tanah airnya sendiri.
Para
imigran ini dapat berdampingan dengan penduduk setempat, mereka bersamam-sama
memajukan ekonomi daerah yang mereka tempati, bahkan keberadaan mereka sangat
membantu bagi pertumbuhan perkembangan daerah setempat, sebab mereka membawa
dan memperkenalkan teknologi dari negrinya, seperti pembuatan gula, tebu, Mie,
bihun, kecap, penyulingan alkohol, serta pembuatan alat rumah tangga. warga
etnis tionghoa sangat rajin bekerja di segala bidang kehidupan misalnya sebagai
pedagang, petani, pandai besi, tukang
kayu, dan kuli pertambangan ataupun perkebunan. Mereka hidup damai dan saling
berdampingan, tidak pernah terjadi konflik pada saat itu apalagi yang di
sebabkan oleh masyarakat tionghoa. Sehingga akhirnya pada saat kedatangan
belanda (VOC) di nusantara ini merusak semua tatanan sosial yang telah di
jaga dengan baik di bumi nusantara ini. Tujuan warga tionghoa migran untuk
mencari nafkah, tetapi telah di tafsirkan oleh Belanda sebagai bentuk lain dari
kolonialisasi di bumi nusantara (Hembing. 2005:xii).
Penindasan
yang di lakukan penjajahan belanda terhadap orang tionghoa sangatlah membuat
kehidupan sosial masyarakat indonesia
hancur, bahkan pernah terjadi bentrokan rasial yang di kenal dengan peristiwa
Kudus pada akhir bulan Oktober 1918. Peristiwa itu merupakan ungkapan dari para
pedagang Islam dan Tionghoa serta prasangka rasial yang sudah lama terpendam,
yang mengakibatkan sebelas orang korban, rumah-rumah di daerah itu terbakar
habis, kebanyakan Pers pribumi menyalahkan orang-orang tionghoa, sebaliknya
orang Tionghoa menyalahkan Pribumi. Dua haria Sin Po dan Djawa Tengah menyalahkan
belanda karena tidak melindungi orang-orang tionghoa (Leo Suryadinata. 1994 :
40).
Pemerintah
Kolonial Belanda membagi masyarakat menjadi tiga kelas, yakni kelas satu untuk
golongan eropa, kelas dua golongan timur asing, dan yang ke tiga golongan
pribumi masalah inilah yang menjadi salah satu faktor yang menjadi penyebab
terjadinya konflik sosial di masa-masa kemudian (Http//:Fadila75@Yahoo.com.
Di akses april 2009).
Politik
Devide Ef Infra yang di terapkan Belanda sangatlah membuat bangsa indonesia
ini hancur di semua sektor. Soekarno mengajak orang Tionghoa untuk melawan
penjajahan Belanda melalui tulisanya pada tahun 1928 yang menyatakan bahwa
Paham Indonesia tidak
bertentangan dengan paham asia . Sebaliknya
paham Indonesia adalah paham
Asia, kemenangan orang Asia atas Imperialis barat adalah juga kemenangan bagi Indonesia .
Dan juga pada awal tahun 1928 surat kabar Tionghoa peranakan Soeara Publiek,
yang dewan redaksinya di pimpin oleh Liem Koen Hian, mengemukakan gagasan “
Kewarga Negaraan Hindia Belanda “ bagi orang-orang Tionghoa peranakan. Menurut
pendapatnya tionghoa peranakan yang memandang Hindia Belanda sebagai Tanah
airnya mereka harus di beri status hukum pribumi, dan oleh sebab itu mereka
berhak memiliki tanah dan bukan orang Eropa, dan juga mereka harus mempunyai
kewajiban-kewajiban yang sama seperti orang-orang pribumi (Leo Suryadinata.
1994: 80-82).
Meski begitu, sebagian besar dari orang-orang Tionghoa di
Indonesia menetap di Pulau Jawa. Daerah-daerah lain di mana mereka juga menetap
dalam jumlah besar selain di daerah perkotaan adalah Sumatera Utara,
Bangka-Belitung, Sumatera Selatan, Lampung, Lombok, Kalimantan
Barat, Banjarmasin, dan beberapa tempat di Sulawesi .
Suku Hakka tersebar di Aceh,
Sumatera Utara, Batam, Sumatera Selatan, Bangka-Belitung, Lampung, Jawa,
Kalimantan Barat, Banjarmasin, Sulawesi Selatan, Ambon, dan Jayapura. Hainan di
Riau (Pekanbaru dan Batam) serta Menado.
Suku Hokkien di Jambi, Sumatera Utara,
Pekanbaru, Padang, Sumatera Selatan, Bengkulu, Jawa, Bali (terutama di Denpasar
dan Singaraja), Banjarmasin, Kutai, Sumbawa, Manggarai, Kupang, Makassar,
Kendari, Sulawesi Tengah, Menado, dan Ambon. Kantonis (Jakarta, Makassar, dan
Menado). Hokchia di Jawa, terutama di Bandung, Cirebon, Banjarmasin, Surabaya. Dan Tiochiu di Sumatra Utara, Riau,
Sumatera Selatan, dan Kalimantan Barat, khususnya di Pontianak. ( Http://jambi-independent.co.id. Usi. Kehidupan suku-suku tionghoa di jambi.
di akses tgl 16 Nevember 2009).
Masyarakat tionghoa ini sama-sama dengan
masyarakat pribumi untuk melawan penjajahan Belanda. Seperti Dalam perang di aceh peran warga tionghoa juga tidak dapat
di abaikan, terutama bantuan dari para pedagang tionghoa. Para pedagang
tionghoa, selain telah menyulitkan tentara pasukan belanda di aceh dalam
penerobosan blokade belanda, juga sebagai pemasok senjata bagi para pejuang
aceh. (Toer, Pramudya. 1998 : 128).
Perang di ponegoro yang
berlangsung selama 5 tahun, menewaskan serdadu belanda sebanyak 8 ribu jiwa dan
menghabiskan biaya sebanyak 20 juta Gulden. Pada awal perang di ponegoro,
banyak warga etnis tionghoa yang ingin bergabung sebagai anggota perang oleh
karena itu penggeran di ponegoro menggeluarkan intruksi agar mereka masuk ke
dalam agama islam terlebih dahulu. Peran warga etnis tionghoa dalam perang
diponegoro sangat besar, selain sebagai anggota pasukan, terutama dalam
penyediaan senjata (Toer, Pramudya. 1998 : 148).
Tindak kekerasan di lancarkan
VOC saat itu menyebab lahirnya perjuangan heroik yang di lakukan oleh warga
tionghoa, peristiwa ini akhirnya di kenang sebagai peristiwa bersejarah atas
keberaniaan warga etnis tionghoa dalam melawan kesewenagan VOC di tahun 1740,
yang di sebut sebagi tragedi angke (Hembing. 2005 : 88).
Nasionalisme warga etnis
tionghoa sebenarnya sudah terlihat sejak VOC berniat untuk mengguasai banten
pada tahun 1753. sumbang sih warga etnis tionghoa kepada perjuangan rakyat
banten melawan VOC tidak dapat begitu saja di lupakan. Saat itu banyak warga
etnis tionghoa yang sama-sama berjuang dengan penduduk setempat melawan
penjajah belanda. Akan tetapi sulit untuk menentukan berapa jumlahnya mereka
secara pasti, sebab mereka sudah banyak yang berasimilasi, bukan saja
menggunakan nama pribumi tetapi juga memasuki adat istiadatnya. Salah satunya
yaitu tjong Lin, yang membantu sultan ageng tirtayasa dengan menjadi mata- mata
bagi banten, dia akhirnya di tangkap dan di gantung setelah di siksa oleh
belanda.
Inilah bukti bahwa sebelum pejajah
menguasai negri nusantara ini, masyarakat tionghoa sudah menyatu kedalam bangsa
Indonesia dan sangat besar perananya dalam membantu perjuangan rakyat Indonesia
melawan penjajahan. Maka dari itu jangan di pandang sebelah mata yang membuat
buruk citra masyarakat tionghoa tetapi ingatlah juga apa yang telah meraka
lakukan untuk bangsa Indonesia ini. Yang
sangat berarti bagi kehidupan kita sekarang.
1.2.Sejarah Masyarakat Tionghoa Di Jambi
Pantai timur Sumatera berada dalam posisi yang sangat
menguntungkan dalam jalur pelayaran dan perdagangan di masa lampau ketika dunia
pelayaran masih bergantung pada sistem angin muson yang berubah-ubah arah
tujuannya setiap enam bulan. Di kawasan ini lalu lintas dari segala arah
bertemu untuk menantikan angin yang cocok agar bisa melanjutkan perjalanannya.
Tidaklah mengherankan jika pantai ini dianggap sebagai pantai niaga yang
disenangi di kawasan barat Indonesia .
Kedudukan Jambi dalam hal ini tidak kalah dari tetangganya Palembang , Indragiri,
Riau,dsb. Yang juga memanfaatkan posisi yang menguntungkan itu. Jadi disamping
lokasi geografis yang menguntungkan, ada faktor-faktor lain yang ikut memainkan
peranan sehingga yang satu ternyata lebih menonjol dari yang lain, sebagaimana
telah dibuktikan oleh jalannya sejarah kawasan ini. (Http://www.geogle.co.id. Matius. 2009 ).
Temuan arkeologi atau sejarah lainnya
dapat dikatakan sedikit sekali itupun sudah memasuki abad IV melalui informasi
dari berita – berita Cina terhadap utusan – utusan Melayu Chan-pi, Suwarnabhumi
atau San-fo-tsi ( Http://www.geole.co.id. Junaidi T Noor. Cerita Perahu Kajang
Luko. Di akses tgl 24 November 2009 ).
Kerajaan pada masa
pra-Sriwijaya seperti Ge-ying dan Gan-tuo-li telah memanfaatkan lokasi yang
menguntungkan ini dan merupakan bandar pelabuhan bagi pelayaran dan perdagangan
masa awal. Para pakar memperkirakan bahwa lokasinya harus dicari di pantai
timur Sumatera, walaupun belum dapat dipastikan dengan tepat apakah letaknya di
Jambi atau di Palembang. Lain halnya dengan shi-li-fo-shi dan Mo-luo-you yang
diberitakan oleh yi-jing pada abad VII yang masing-masing diidentifikasikan
oleh para pakar sebagai Sriwijaya dan Melayu dan ditempatkan di Palembang dan
Jambi. Dari berita Yi-jing itu diketahui bahwa Mo-luo-you telah menjadi Shi-
li-fo-shi, dengan kata lain, Jambi telah masuk Sriwijaya walaupun ibukotanya
masih berada di Palembang. Namun diperkirakan pula bahwa pusat kerajaan
Sriwijaya dapat berpindah-pindah sesuai dengan situasi dan kondisi pada saat
tertentu. Misalnya, pada paro kedua dari abad XI para pakar memperkirakan bahwa
ibukota Sriwijaya telah bertempat di Jambi.
Dalam perdagangan terbuka pada
abad ke XIV, di mana bertalian erat dengan saling ketergantungannya antara
perdagangan rempah-rempah, bahan makanan, dan komoditi lainya, seperti bahan
pakaian, pecah belah, dan lain-lain. Cina melakukan hubungan dagang dengan
Jambi yaitu lada. Jadi Jambi merupakan daerah yang sudah lama di kenal dengan
bangsa Cina (Sartono Kartodirdjo. 1987:79). Jambi muncul sebagai pengekspor
lada terbesar karena daerah pedalamanya sampai ke minangkabau adalah penghasil
lada. Sehingga Portugis dan VOC tidak mengingginkan Jambi jatuh ke tangan Aceh
yang pada saat itu Aceh menginginkan pelabuhan yang di miliki Jambi, karena
Jambi merupakan pelabuhan Ekspor Lada dan pengimpor beras dan garam (Sartono Katodirdjo. 1987 : 109-112).
Ini membuktikan bahwa
pelayaran orang Cina ke daerah ini semakin banyak, dan mencerminkan pula keramaian
pelayaran di kawasan ini yang semakin meningkat. Jika sebelumnya pelayaran Cina
dan orang asing lainnya dihubungkan dengan perdagangan antara negeri Cina
dengan India dan kawasan Asia barat-jadi kawasan ini hanya berperan sebagai
tempat singgah dalam jalur sutera -, kini pengunjung asing itu sengaja berlayar
kesini untuk berdagang, yakni mempertukarkan barang impor (kain sutera dan
keramik dari Cina, tekstil dari India, dsb). Dengan
hasil kepulauan Indonesia
berupa rempah-rempah, kayu wangi, dll. Dengan kata lain jalur sutera telah melebur dengan jalur
rempah-rempah. (Http://www.geogle.co.id. Matius. Wikipedia Indonesia. 2009).
Jambi Yang merupakan daerah
bagian sumatra yang posisinya sangat strategis dalam jalur lintas perdagangan
pada zamannya. setiap kapal dagang yang ingin melakukan perdagangan secara
otomatis pasti melintas di daerah kawasan jambi. Dan juga jambi merupakan
daerah yang memiliki beberapa kerajaan besar dan kecil di antaranya. Melayu,
zabah, kuntala, sebo, dll. Yang memiliki peranan di dalam daerah jambi pada
zamannya. Apalagi kerajaan sriwijaya yang terkenal itu masih belum jelas
keberadaannya apakah di Palembang atau di Jambi. Banyak bukti-bukti tertulis
yang di temukan di palembang yang memperkuat bahwa kerajaan sriwijaya di
palembang tetapi jambi juga mempunyai bukti-bukti yang berbentuk geografis dan
peninggalan-peninggalan yang lainnya. Para bidsu dari tiongkok yang ingin
memperdalam agama budhanya mereka memperdalam bahasa sangsekerta di sriwijaya
untuk modal saat tiba di India. Jambi yang memiliki puluhan tempat beribadah
bagi agama budha dan memiliki puluhan bahkan ratusan para bidsu yang dapat
membantu atau mengajarkan agama dan bahasa sangsekerta. Dari dua hal tersebut
sangatlah wajar kalau orang tionghoa pasti ada di jambi dan secara tidak
langsung akan terdapat perkampungan orang tionghoa di jambi.
Namun demikian, hingga saat ini belum
diketahui sejak kapan dan siapa orang Tionghoa pertama yang datang ke Jambi.
Tetapi yang pasti, sejak zaman kekuasaan kerajaan Sriwijaya dan Melayu,
penduduk Jambi telah menjalin hubungan dagang dengan orang-orang Tionghoa. Pada
waktu itu, orang-orang Tionghoa menempati daerah sekitar Sungai dan pantai
sebagai tempat tinggal sekaligus tempat berdagang, hal itu disebabkan sungai
menjadi jalur transportasi perdagangan.
Pemusatan pemukiman orang-orang Tionghoa
memang pada awalnya terjadi karena kebiasaan mereka untuk selalu menempati
daerah-daerah strategis sepanjang aliran sungai yang menjadi pusat perdagangan,
hal ini karena orang Tionghoa sangat menyukai bidang bisnis atau berdagang (
Jambi Independent. 2009 : 14
).
Ghetto, tempat kehidupan sehari-hari orang
yahudi yang di pencilkan, dapat di bandingkan dengan pemukiman-pemukiman khusus
yang di bangun oleh orang-orang tionghoa bagi mereka sendiri di banyak kota.
Banyak orang, baik orang luar ataupun orang Indonesia itu sendiri,
menggambarkan orang tionghoa sebagai kelompok daerah kota yang paling menonjol.
Barangkali akan lebih tepat untuk mengatakan bahwa golongan pribumi Indonesia
yang ada di Kota Jambi itu lebih banyak terpusat di daerah pedesaan dan
golongan penduduk tionghoa tampaknya merupakan penduduk kota dari apa yang
sebenarnya ( Coppel,Charles. 1994 : 27 ).
Salah satu bukti sejarah
Tionghoa yang ada di Kota Jambi ini adalah klenteng Siaw San Teng yang
merupakan klenteng tertua dan terbesar di Provinsi Jambi yang terletak di
daerah Kampung Manggis Kota Jambi.

Klenteng
Siaw San Teng Sekarang
Klenteng ini
didirikan pada tahun 1881 itu terlihat dari tulisan kaligrafi Cina kuno berisi
pantun Cina yang hingga saat ini masih bertengger di dinding kelenteng.

Kaligrafi Cina Kuno
Yang betengger di dinding klenteng Siaw San Teng
Kaligrafi itu telah
berumur sekitar 150 tahun. Memiliki banyak makna dan hanya dimengerti sebagian
kecil warga Tionghoa.
plakat itu didatangkan langsung dari daerah Tiongkok dan telah ada sejak
kelenteng didirikan sekitar 1881. Jadi itu bukti sejarah Cina kuno yang masih
disimpan dengan sangat baik di dalam kelenteng yang juga merupakan kelenteng
terbesar di Kota Jambi itu. “Ini akan kita simpan dengan baik, tidak ada yang
boleh membeli atau membawa pulang bukti sejarah ini. Meskipun tidak banyak yang
mengetahui makna dan artinya, ini merupakan salah satu benda penting dan bersejarah
yang hanya ada di kelenteng ini dan bukti bersejarah masyarakat tionghoa di
kota Jambi secara umum. Menurut Apong, pengurus
Kelenteng Siu San Teng, Satu huruf saja
bisa memiliki banyak makna. Di Kota Jambi sendiri, hanya beberapa orang yang
bisa mengerti arti tulisan itu. Saya saja tidak terlalu mengerti makna dari
tulisan tersebut ( Http://www.geogle.co.id. Surya Elviza.Berumur 150 tahun, menjadi bukti
sejarah. di akses tgl 15 November 2009 ). Didirikannya tempat beribadah ini
adalah bukti bahwa pada tahun 1881 sudah banyak masyarakat tionghoa yang
tinggal di kota Jambi ini.
Sumber nya dari mana ?
BalasHapuscoba scan hasil apa gitu misal makalah2 yg mungkin sudah di seminarkan.
Ada di jurnal ilmiah dikdaya unbari di tahun 2011 dan 2014. Terus di tahun 2016 masih sm di jurnal unbari judulnya kehidupan ekonomi orang tionghoa di Kota Jambi.
Hapussartono kartodirjo judulnya apaan bng
Hapusklenteng siaw san teng itu dimana min?
BalasHapus