Archipelago Nusantara

ARCHIPELAGO NUSANTARA

Oleh
Satriyo Pamungkas



Republik Indonesia ialah sebuah Negara Kepulauan yang juga disebut sebagai Nusantara yang terletak di antara Benua Asia Tenggara dan Australia dan diantara Laut Hindia dan Lautan Pasifik. Memiliki 17.508 pulau terdiri dari pulau-pulau besar antara lain Jawa, Kalimantan, Sumatra, Sulawesi, dan Papua. Dari setiap pulau tersebut memiliki latar belakang sejarah yang berbeda khususnya mengenai kondisi kehiduan masyarakatnya. Hal ini disebabkan perkembangan pada setiap pulau berbeda-beda, ada yang mulai kehidupan di suatu pulau pada zaman prasejarah namun ada juga yang dimulai pada zaman Hindu-Buddha dan Islam. Sejak masa kerajaan lama pengaruh raja-raja atau sultan-sultan dari masing-masing kerajaan dalam dunia perdagangan memiliki peran cukup besar. Mereka bertindak sebagai pengontrol keamanan, penarik pajak, dan pemilik modal.
Sebelum kedatangan bangsa barat, Nusantara telah berkembang menjadi wilayah perdagangan internasional yang pada masanya memiliki dua jalur perniagaan yang digunakan para pedagang. Pertama, jalur perniagaan melalui darat atau lebih dikenal dengan “Jalur Sutra” yang dimulai dari darat Tiongkok (Cina) melaluii Asia Tengah, Turkistan hingga Laut Tengah. Jalur ini juga berhubungan dengan jalan-jalan yang dipergunakan oleh kafilah India. Jalur ini merupakan jalur paling tua yang menghubungkan antara Cina dan Eropa. Kedua, jalur perniagaan melalui laut yang dimulai dari Cina melalui Laut Cina kemudian Selat Malaka, Calcut (India), lalu ke teluk Persia melalui Syam (Syuria) sampai ke laut tengah atau melalui Laut Merah sampai ke Mesir lalu menuju laut tengah. Melalui jalur-jalur inilah perniagaan komoditi ekspor dari iwilayah Nusantara menyebar dan dikenal di pasaran Dunia.
Zaman perdagangan mengakibatkan permintaan secara berkelanjutan akan barang-barang yang diperdagangkan. Hal ini mendorong memunculkan barang dagang lainnya seperti mata uang dalam bentuk perak, tembaga, dan timah merupakan dagangan paling penting yang mengalir ke wilayah Asia, termasuk Asia Tenggara. Hubungan dagang dengan orang asing memunculkan pengenalan mata uang, bagi masyarakat pribumi khususnya yang dari emas juga banyak di cetak dan mata uang asing beredar seperti Cina, Jepang, India, dan Persia.
Peta yang diciptakan Ptolemeus pada tahun 150 M berupa manuskrip yang menceritakan sebuah kepulauan yang memiliki banyak sumber alamnya. Salah satu pulau dalam manuskrip tersebut dikenal dengan swarnadwipa (pulau emas) yang telah diceritakan pada kitab-kitab pendeta India pada tahun seblum masehi. Kota Barus yang terletak diwilayah Sumatra Utara (Tapanuli) telah menjadi Kota perdagangan terbesar di Timur, yang terkenal dengan kapur barus Kota ini menjadi sering di kunjungi untuk mengambil salah satu kekayaan hasil alamnya untuk dijadikan bahan pengawet mumi pada zaman Mesir Kuno.[1]
            Terkenalnya wilayah Sumatra (swarnadwipa) telah diceritakan oleh tentara Solomon yang menemukan kerajaan di kepulauan Timur yang bernama Ophir yang diperkirakan terletak di Sumatra Barat yang mempunyai gunung dan kaya akan sumber alamnya. Laporan lainnya dari pedagang Persia bernama Sassanid yang telah mengunjungi Aceh sejak tahun 1 masehi yang melarikan diri dari Mesopotamia akibat adanya serangan bangsa Romawi.[2]
            Terkenal dengan sebutan “Pulau Rempah-Rempah” Maluku menjadi primadona diantara pulau-pulau Nusantara, betapa tidak kepulauan ini memiliki hasil buminya yang tidak sama sekali dimiliki oleh Negara-Negara lain atau tempat-tempat lain di dunia manapun pada zamannya. Hasil bumi seperti cengkeh dan biji pala membuat Negeri ini ternama dimata dunia. Tiga dari kepulauan Indonesia yang menjadi primadona pada zamannya membuat kita beranggapan bahwa Nusantara sangat kaya akan hasil buminya, mulai dari rempah-rempah, cengkeh, pala, kapur barus, kayu manis, tembakau dan masih banyak lagi yang lainnya. Sehingga memunculkan opini publik yang menyebutkan bahwa Indonesia sebaga Negeri Kepulauan (archipelago).
            Pada saat yang sama, menurut Marcopolo, di Sumatra terdapat kerajaan Tumasik dan Samudra Pasai. Pasai yang merupakan kerajaan Islam yang memupyai posisi kuat dalam bidang politik dan ekonomi, sebagai pusat perdagangan. Pasai banyak melakukan hubungan dagang denga Gujarat, Benggala serta Kota-Kota pelabuhan di pantai Utara Jawa. Selain lada, Pasai juga mengekspor sutra, kapur barus, dan emas yang diperoleh dari pedalaman. Sedangkan sutra orang Pasai memperoleh kemampuan mengolah dari orang-orang Cina.
            Adanya kontak dengan bangsa asing dalam bidang perdagangan pada awalnya berkembang menjadi kontak budaya yang membentuk masyarakat Nusantara. Tidak mengherankan apabila kebudayaan Nusantara dipengaruhi dari bangsa-bangsa lain seperti India, Timur Tengah, Cina dan Eropa. Namun pengaruh India lebih dominan mempengaruhi masyatakat awal Nusantara.
            Pengaruh India mulai masuk di kepulauan Nusantara di dukung dengan perkembangan teknologi transportasi pelayaran antar kawasan, serta digunakannya bahasa serumpun yang menjadi linggue-franca (bahasa perantara) untuk komunikasi di Kepulauan Nusantara. Bahasa Austronesia merupakan bahasa terbesar yang digunakan separuh dari belahan dunia, dengan jumlah penutur terbesar terdiri dari bahasa Melayu- Indonesia, Jawa dan Tagalog. Saat ini bahasa Austronesia secara mayoritas masih dipergunakan di Indonesia, Malaysia, Filipina, Singapura, Brunei, serta oleh komunitas tertentu di Fermosa, Vietnam, Kamboja, Birma, dan Pantai Utara Papua. Robert Blust (1985) berhasil merekonstruksi yang berhubungan dengan teknologi perkapalan, navigasi, biota serta lingkungan laut yang berumur hingga 3500 SM. Selain itu, bukti etnografi juga  dijumpai di beberapa etnis tradisonal di Kepulauan Nusantara yang mempertahankan tradisi pelayaran perdagangan jarak jauh antar kawasan, seperti; suku Sama-Bajau dan Bugis-Makasar.[3]
            Meningkatnya arus pelayaran-perdagangan jarak jauh membentuk suatu jaringan internasional yang melibatkan mediterania, Asia Barat, Sub-Kontinental, India, Asia Tenggara Kepulauan, Asia Tenggara Daratan, dan Cina. Temuan cengkeh di Terqa euphrates timur yang berumur 3500 BP, koin kekaisaran romawi barat di Thailand, bekal kubur koin Cina dan manik-manik Carnelian di Uattamdi, Maluku Utara yang berumur 2300 BP, gerabah Roulleted Indo-Roman di situs Buni Pantai Utara Jawa Barat, gerabah Arikamendu di Sembiran dan Pacung Pantai Utara Bali dari awal abad masehi.[4] Temuan-temuan ini mengindikasikan adanya interaksi internasional yang melibatkan kepulauan Nusantara yang akhirnya komoditas hasil bumi Kepulauan Nusantara mulai terkenal dibelaha Dunia, dan sebalinya barang-barang dari luar seperti logam, manik, manik, perhiasan mulai masuk dan digemari di Kepulauan Nusantara.
Dilihat dari letak Indonesia merupakan jembatan  penghubung yang terletak  di tengah- tengah dua Negara besar yang merupakan sentral perekonomian Asia yaitu India dan Cina. Hubungan India-Cina terjadi jauh sebelum abad V Masehi. Seiring perkenalan barang-baranga dagang diperkenalkan juga pengaruh-pengaruh budaya (idiologi) oleh masyarakat luar ke Kepulauan Nusantara, dalam kitab-kitab kuno seperti kitab Jataka mengenai kelahiran sang Budha Sidharta Gautama, pada kita tersebut disebut sebut sebuah negeri yaitu Svarnabhumi yang di indikasi sebagai Sumatra. Selanjutnya kitab Ramayana yang menceritakan kisah Rma-Shinta yang menyebut-nyebut beberapa negeri yaitu Yavadwipa dan Swarnadwipa di indikasikan sebagai pulau Jawa dan Sumatra.
Kebudayaan India ini yang pada akhirnya diserap oleh komunitas-komunitas kepulauan Nusantara yang meliputi tiga aspek yaitu relegi (Agama Hindu-Budha), institusi politik (Kerajaan), dan Bahasa Sangsekerta serta aksara India (Pallawa) yang dimodifikasi menjadi berbagai aksara local Nusantara.[5]
Lombard (2005) dalam bukunya “Nusa Jawa: Silang Budaya” menyebutkan Pulau Jawa sebagai tempat persilangan kebudayaan yang terus berdenyut, bergerak dan berevolusi sejak dari awal masehi sampai saat ini. AB. Lapian (1999) dalam karyanya “Nusantara: Silang Bahari” menyebutkan bahwa Pulau Jawa merupakan sebuah kawasan persilangan bahari yang menekankan pada jaringan hubungan masyarakat bahari di kepulauan Nusantara. Dari dua karya tersebut sekiranya dapat di ambil suatu indikasi bahwa Kepulauan Nusantara memiliki jalian-jalinan internasional melalui perdagangan yang terus berkembang pada akhirnya menciptakan suatu budaya lokal di Kepulauan Nusantara.


Daftar Bacaan
Sofwan Noerwidi. 2007. Melacak Jejak Awal Indianisasi di Pantai Utara Jawa Tengah. Balai Arkeologi Yogyakarta
Lapian, AB. 1999. “Nusantara: Silang Bahari”, dalam Panggung Sejarah, Persebahan Kepada Prof. Dr. Denys Lombard. Jakarta: YOI
Lombard, Denys. 2005. Nusa Jawa Silang Budaya, Jilid III Warisan Kerajaa-Kerajaan Konsentris. Jakarta: Gramedia.





[1] Catatan dan hikayat Heredotus “Catatan dan Hikayat Raja-Raja Mesir” bahwa orang Mesir pernah mencapai suatu kepulauan melalui jalan menuju Timur dan dilanjutkan ke Tenggara dimana tempatnya terdapat kapur barus dan emas yang melimpah.
[2] Orang Persia ke Aceh Utara ada tiga kemungkinan yaitu perdagangan, kebetulan, atau ketidak sengajaan, dan menerjemahkan manuskrip Yahudi Kuno.
[3] Sofwan Noerwidi. 2007. Melacak Jejak Awal Indianisasi di Pantai Utara Jawa Tengah. Balai Arkeologi Yogyakarta. Hlm 55-56
[4] Ibid. hlm 56
[5] Ibid, hlm 58

Komentar

Postingan Populer