Kota dan Kegiata Dagang

KOTA DAN KEGIATAN DAGANG
OLEH
SATRIYO PAMUNGKAS


(Orang Jawa) adalah semua orang yang berpengalaman di dalam seni navigasi, sampai mereka mengatakan bahwa inilah seni yang paling kuno, meskipun banyak orang lain menunjukkan rasa hormat ini kepada orang Cina, dan menegaskan bahwa seni ini diteruskan dari mereka kepada orang Jawa. Tetapi yang pasti adalah mereka dahulu berlayar ke tanjung Harapan, dan mengadakan hubungan dengan pantai timur Pulau S. Laurenzo (Madagaskar), dimana sekarang banyak dijumpai penduduk asli berkulit coklat dan seperti orang Jawa yang mengatakan bahwa mereka adalah keturunan orang Jawa.[1]
Wilayah Nusantara dilalui dua angin, keadaan demikian berlangsung sepanjang tahun. Angin timur laut waktu melintas garis khatulistiwa berubah arah menjadi angin barat laut. Sedangkan angin pasat tenggara waktu melintasi garis khatulistiwa berubah menjadi angin barat daya. Lagi pula wilayah Nusantara (Indonesia) terletak di antara Benua Asia dan Benua Australia mempunyai pengaruh besar pada berhembusnya angin. Iklim panas salah satu benua akan membawa perubahan pada arah angin. Apabila di Benua Asia terjadi musim panas maka tekanan udara di utara menjadi minimum (rendah). Angin berhembus dari Australia ke Benua Asia yang arahnya ke barat. Sementara itu, apabila di Australia terjadi musim panas maka angin dari Benua Wilayah Nusantara dilalui dua angin.
                 
Gambar. Arah Angin Muson
Sumber: https://www.google.com/url?sa=i&rct=j&q=&esrc=s&source=imgres&cd=&cad=rja&uact=8&ved=0ahUKEwiItY_XiOzSAhXBvI8KHYrwBnkQjhwIBQ&url=https%3A%2F%2Fwww.referensibebas.com%2F2017%2F01%2Fakibat-dari-adanya-angin-muson-barat.html&psig=AFQjCNHgvV0XGc9TDPt7d2dq0NUa6-Rklg&ust=1490339298585185
 
Hasil gambar untuk angin muson                 
Sistem angin muson[2] yang berhembus dari timur ke barat dan dari barat ke timur selama enam bulam sekali secara bergantian mendukung Nusantara ikut serta dalam kegiatan perdagangan internasional dan menjadi pola perdagangan maritim Asia[3] serta berkembang pelabuhan-pelabuhan di antara kawasan Asia Tenggara.[4] Namun hal ini terjadi pada kawasan Nusantara secara umum, tidak seperti apa yang terjadi di Pantai Barat Sumatra yang tidak di temui angin musim yang berpola. Hal ini disebabkan posisi wilayah pantai barat berhadapan langsung dengan Samudra Hindia, relatif terbebas dari pengaruh tekanan udara yang di akibatkan oleh arus panas di Benua Asia dan Australia serta dibagi dua oleh garis equator merupakan penyebab utama penyimpangan pola angin musim di kawasan ini.[5]  Perkembangan perdagangan mengakibatkan bertumbuh pula kota-kota di daerah pesisir pantai baik di Pantai Sumatra maupun Jawa dalam hal perdagangan maupun pembuatan kapal atau penyewaan kapal-kapal yang dipergunakan untuk perdagangan baik dekat maupun jauh yang memiliki nilai sewanya masing-masing. Hal ini apa yang dilakukan oleh orang-orang Bugis tarif jasa tergantung pada jaraknya, untuk sektor paling dekat kawasan Indonesia Timur sebesar 2,5 real dan untuk perlayaran jarak jauh dari Sulewesi ke Aceh atau Kamboja biayanya 7 real.[6] Kapal-kapal dagang Nusantara pada umumnya menggunakan layar dan bisa memuat kapasitas 100-200 orang.[7] Orang-orang bugis dan Makasar memproduksi kapal yang dikenal dengan Kapal Pinisi yang mampu berlayar ke Timur sampai Australia dan ke Barat sampai Pulau Madagaskar.[8] Itulah sebabnya orang-orang Bugis dan Makasar di kenal sebagai pelaut-pelaut ulung dan menjadi kota-kota memproduksi kapal-kapal sampai saat ini.
Hasil gambar untuk kapal pinisi
Gambar. Model Kapal Pinisi
Sumber: http://www.seputarwisata.com/tempat-wisata-raja-ampat/kapal-pinisi-raja-ampat/

Perdagangan di daerah pedalam relatif jarang dicatat, namu dapat dipastikan bahwa di daerah pedalaman juga terjadi kontak perdagangan dengan bangsa-bangsa lain melalui jalur sungai, walaupun barang dagangnya tidak sebanyak apa yang terjadi di daerah pesisir. Tidak heran pada zaman perdagangan adalah masa pertumbuhan pelabuhan, kota-kota maupun pemukiman yang berkelanjutan yang meledak menjadi kota-kota dagang maju dan berkembang sehingga membentuk suatu Negara atau kerajaan. Pemukiman akhirnya tidak terpusat di daerah pantai-pantai namun di daerah pedalam-pedalaman tetapi tepi sungai pun menjadi pusat pemukiman bagi masyarakat. Menurut Wertheim, Kota-kota pedalaman terutama menjalankan fungsi administratif, sedangkan kota-kota pantai merupakan tempat pertemuan dengan para pedagang asing, karena itu orang-orangnya lebih kosmopolitan.[9] Namun menurut Murphy di sebagaian yang ada di Asia Tenggara kepualauan tumbuh di pedalaman. Hal ini dikarenakan dapat memungkinkan menjalankan fungsi administratifnya dan mengontrol wilayah teritorial Negara.[10]
Seperti apa yang terjadi di pulau Sumatra perdagangan melalui sungai dimulai dari Batang Natal berhulu dekat Sarah Doreh di kaki bukit Sitampak dan bermuara di kota Natal. Dari muaranya hingga Sikambo. Sungai ini dapat dilayari oleh perahu yang relatif besar dengan muatan kopi hingga 3-4 ton. Sedangkan dari Sikambo ke arah hulu hanya bisa dilayari oleh perahu yang relatif lebih kecil dengan muatan 0,5-1 ton.[11]
Hubungan Nusantara dengan Negara-Negara luar menimbulkan pusat-pusat perdagangan. Di wilayah Asia sendiri pusat-pusat perdagangan terdapat di wilayah Malaka, India, Cina,dan Teluk Persia. Di Selat Malaka tumbuh dan berkembang pusat-pusat yang membentuk suatu kota-kota pelabuhan dan perdagangan penting seperti Samudra Pasai di Aceh, Sriwijaya, dan Johor, sedangkan di Jawa muncul kota-kota pelabuhan dagang seperti Banten, dan Sunda Kalapa.[12]
Sejarawan Belanda, J.C. Van Leur, menjelaskan barang-barang yang diperdagangkan dalam pasaran internasional di Asia Tenggara pada waktu itu ialah barang-barang bernilai. tinggi, seperti: logam mulia (emas dan perak), perhiasan, barang tenunan, barang pecah belah dan berbagai barang kerajinan, wangi-wangian serta obat-obatan. Selain itu, keterangan yang bersumber dari negeri Cina. Hubungan Indonesia dengan Cina pada masa itu merupakan hubungan langsung antara kedua negara. Atau dapat pula hubungan itu merupakan pelayaran yang lebih luas antara Asia Barat dengan Cina. Menurut O.W. Wolter, pelayaran dagang melalui perairan laut Cina Selatan pertama kali terjadi pada kurun waktu antara abad ke­-3 dan ke-5 tarikh Masehi. Kendatipun demikian bukti-bukti yang pasti menunjukkan bahwa pelayaran itu mulai terjadi pada permulaan abad ke-5.[13]
Sejarawan Gusti Anan dalam bukunya “Dunia Maritim Pantai Barat Sumatra” dari beberapa kutipannya menjelaskan jauh sebelum Isa Almasih kawasan dibagian barat Nusantara (Indonesia) telah terlibat dalam kegiatan perdagangan dan pelayaran dengan kawasan Asia Selatan, Afrika, dan Cina. Pada abad pertama hingga abad ke lima Masehi, sumber-sumber Cina menyatakan telah ada beberapa kerajaan merdeka dipulau Sumatra. Kerajaan-kerajaan ini terlibat dalam kegiatan perdagangan dan pelayaran dengan India dan Cina.[14] Para pedagang ini bersifat sendiri-sendiri, bersama dengan barang dagangnya, selama berbulan-bulan tersebut ketika awak kapal dan penumpang berada di Bandar kawasan Asia Tenggara, mereka memenuhi perkampungan kota, meramaikan pasarnya, dan ikut serta dalam upacara-upacara ritual.[15]
Bronson (1977) menjelaskan pola pemukiman dan perdagangan di Sumatra Selatan pada masa klasik yang dibentuk oleh aliran sungai, pusat pemukiman dan kegiatan perdagangan harus ditemukan di dekat Muara Sungai di Selat Malaka atau Selat Bangka. Ke arah hulu, di dekat cabang sungai yang pertama, kedua, dan seterusnya akan di jumpai pusat-pusat yang semakin rendah dan di daerah paling hulu akan ditemukan kelompok-kelompok peramu yang megumpulkan macam-macam hasil hutan dan komoditi tradisional lainnya. Barang-barang tersebut selanjutnya dialirkan ke arah muara sungai hingga ada tingkat yang tertinggi untuk disalurkan kepada konsumen di luar Sumatra melalui pelabuhan-pelabuhan besar di pinggir pantai. Perkembangan pelabuhan ini tergantung seluruhnya pada permintaan barang komoditi oleh kerajaan besar dari luar. Maka, tampa permintaan dari luar, pusat pemukiman dan peradaban tinggi tidak akan muncul di tempat tersebut.[16]
Kejayaan suatu negeri dinilai dari luasnya wilayah, penghasilan per tahun, dan ramainya pelabuhan. Hal itu disebabkan, kekuasaan dan kekayaan kerajaan-kerajaan di Sumatera bersumber dari perniagaan, sedangkan di Jawa, kedua hal itu bersumber dari pertanian dan perniagaan. Di masa pra kolonial, pelayaran niagalah yang cenderung lebih dominan. Namun dapat dikatakan bahwa di Indonesia secara keseluruhan, pertanian dan perniagaan sangat berpengaruh dalam perkembangan perekonomian Nusantara, bahkan hingga saat ini.
Kota-kota kuno di Nusantara (Indonesia) tidak tumbuh spontan atas kehendak komunitas pedagang atau pengrajin, tetapi tergantung pada kehendak raja baik dalam pemilihan tempat, desain, maupun ukurannya. Pemilihan kota dipengaruhi oleh pertimbangan tempat yang menguntungkan secara ekonomis dan letaknya dengan pelabuhan. Seperti kota kuno di Jawa memiliki cirri yaitu seperti adanya alun-alun dan bangunan mengikuti empat arah mata angin dengan jalan bersilang membentuk siku-siku. Model seperti ini sama bentuknya dengan kota-kota di pedalaman maupun di pantainya. Inilah yang menyebabkan kota-kota periode ini lebih bersifat statis dari pada dinamis.[17]
Perkembangan perniagaan atau perdagangan di wilayah Nusantara pada dasarnya tidak kalah maju dengan perkembangan di Eropa. Bahkan menurut Ricklefs, Eropa bukan merupakan wilayah termaju di dunia. Wilayah yang sedang berkembang waktu itu justru dunia Islam yang mencakup sebagian Timur Tengah sampai wilayah Nusantara.[18] Hal ini dapat diartikan bahwa Nusantara telah menjadi suatu wilayah yang berkembang dalam dunia perdagangan yang terjalin dalam hubungan dagang internasional dengan Cina, India, Arab dan Negara-Negara Asia lainnya.
Di Jawa muncul Kota Banten yang letaknya di tepi sungai Cibanten yang menjorok ke laut Jawa sangat menguntungkan. Lokasi ini menghubungkan jalan maritim dan darat sehingga memudahkan komunikasi antara laut dan pedalaman. Melalui sungai Cibanten dan anak-anak sungainya, hasil yang diperoleh dari daerah hulu dibawa ke pelabuhan untuk diperdagangkan. Sebaliknya berbagai barang dagang dari pasar di hilir diangkut ke hulu melewati jalan yang lama, jadi jalan air merupakan urat nadi kota Banten. Lada merupakan produksi terpenting bagi kesultanan Banten yang banyak di budidayakan di pedalaman dan salah satu rempah-rempah yang banyak dicari oleh pedagang Eropa.[19]
Gambar terkait
Gambar. Peta Cirebon.
Sumber: https://tatangmanguny.wordpress.com/sejarah-kabupaten-majalengka-bunga-rampai/misteri-sindangkasih-majalengka/
Menurut catatan perdagangan Cina disebut sebagai Ko-ying yang berada di suatu tempat sebelah tenggara Sumatra merupakan tempat yang baik untuk mengontrol lalu lintas antara India dan Cina melalui Selat malaka maupun Selat Sunda. Ko-ying disebut-sebut sebagai terminal bagi kapal yang mengangkut rempah-rempah yang hendak menuju Cina dan India.[20] Meskipun Ko-ying memiliki posisi yang berpengaruh dalam lintas perdagangan internasional, namun bukan berarti satu-satunya kekuatan yang ada. Hal ini dikarenakan tidak banyak diketahui mengenai Ko-ying ini dan tidak ada pula sumber-sumber yang mendukung lebih kuat pengaruh Ko-ying itu sendiri.
Gambar terkait
Gambar. Trade Routes Of Southeast Aisa
Sumber: http://www.klikgugel.xyz/
Muncul nama Kan-to-li yang memiliki catatan sejarah dari tahun 441 M hingga 563 M, mencakup wilayah Sumatra Selatan yang luas termasuk lembah-lembah Sungai Batanghari dan Sungai Musi. Kan-to-li merupakan bagian dari rantai pemerintahan yang telah terorganisasi yang memberi Nusantara (Indonesia) sebagai dominasi yang absolute atas wilayah Selat Malaka dan Selat Sunda selama lebih dari seribu tahun dan merupakan kerajaan pertama yang memeluk agama Buddha di Indonesia.[21]
Kerajaan Sriwijaya salah satu kerajaan maritim yang kekuatan bertumpu pada perdagangan internasional. Sriwijaya tumbuh berkembang menjadi pusat perdagangan di wilayah pantai Sumatra yang mengamankan jalur perdagangan di sekitar Selat Malaka. Kontak perdagangan ini menyebabkan Nusantara melalui Sriwijaya bersentuhan dengan peradaban Hindu-Buddha (India), Konfusianisme dan Taoisme (Cina), dan Islam (Timur Tengah) sehingga memperkaya penduduknya dalam suatu kota-kota dagang pada kurun masa perdagangan. Sriwijaya memiliki kapal sendiri untuk perdagangan dan pelayarannya meliputi Asia Tenggara sampai ke India, bahkan sampai ke Madagaskar serta mewajibkan setiap kapal dagang yang lewat di Selat Malaka untuk mampir di pelabuhan Sriwijaya.[22] Terdapatnya sungai-sungai kecil dan besar yang mengalir sampai ke Selat Malaka dan Samudra Hindia mengakibatkan pada masa ini memunculkan konsep-konsep tentang pinggiran yang cocok dengan Negara-negara kota berbasis Bandar yang menjadi kediaman sang penguasa.[23] Ada beberapa daerah berdasarkan tulisan Coedes seperti Negeri Bentan, Malaka, dan Indrapura, sebagai wilayah berdasarkan anak sungai maupun daerah-daerah di aliran sungai.[24]
Hasil gambar untuk kapal sriwijaya
Gambar. Model Kapal Sriwijaya
Politik dunia Melayu adalah organisasi berdasarkan hirerarkis hulu-hilir yang melibatkan sebuah titik pusat primer dibagian hilir sungai utama, dan serangkaian pusat sekunder. Sistem-sistem daerah aliran sungai sudah mempersyaratkan adanya jaringan kompleks antara pusat di hilir dan aneka pusat sekunder di hulu. Kota Bandar utama bertugas mengendalikan aliran barang dagang yang masuk, atau di ekspor dari sentero daerah aliran sungai. Maka dari itu kota Bandar harus menjalin hubungan dengan masyarakat hulu yang memiliki akses terhadap produksi pedalaman.[25] Hal ini berarti sudah terbentuk kota-kota dagang di daerah pedalaman namun sepertinya belum memiliki suatu sistem pemerintahan yang kuat, karna dalam buku Coedes tidak disebutkan nama kota-kotanya, namun hanya menyebutkan masyarakat di sepanjang aliran sungai (DAS).
Letak pulau Sumatra sangat strategis karena terletak di tepi jalur lintas perdagangan antara Persia, Tiongkok, dan India. Selain itu Sumtra juga memiliki kelebihan sumber daya alam yang menjadi komoditas penting pada kala purba, yaitu kapur barus dan emas.[26] Salah satu pelabuhan terkenal di Sumatra adalah Jambi yang merupakan pelabuhan pengekspor lada yang banyak dihasilkan di daerah pedalaman, seperti minangkabau yang di angkut melalui sungai Indragiri, Kampar, lalu ke Batanghari.[27] Hal ini mempunyai arti bahwa Jambi merupakan kota pelabuhan dagang di jalur Malaka baik barang dagang yang dating dari Jawa, Cina, India dan yang lainnya.[28] Bukan hanya di Jambi di daerah-daerah lain juga terbentuk kota-kota pelabuhan seperti yang terjadi di Gresik, Maluku dan Banda. Hal ini dikarenakan perdagangan yang paling ramai ialah kain tenun yang di datangkan dari segala penjuru yang di borong oleh pedagang Gresik yang kemudian dijual di Maluku dan Banda.[29]
Perdagangan berlangsung bukan hanya dalam system ekonomi dimana terjadi system jual beli yang saling menguntungkan, namun terjadi peristiwa import budaya di Nusantara. Persia, India, Cina sama-sama membawa pengaruh bagi budaya masyarakat Nusantara Khususnya di wilayah-wilayah pesisr pantai baik Sumatra maupun Jawa dan daerah lainnya yang secara tidak langsung menancapkan pengaruhnya yang terkadang silih berganti di suatu wilayah di Nusantara. Sehingga terjadi akulturasi Budaya di masyarakat Nusantara. Menurut Sartono (2014) kota-kota pantai terdapat protagonis[30] agama Islam seperti di Tuban, Gresik, Cirebon, dan sebagainya. Hal ini mengakibatkan di dalam kehidupan masyarakat terjadi campuran antara Islam dan Jawa-Hindu, seperti memelihara anjing.[31]
Dalam aktivitas perdagangan kerajaan-kerajaan telah mengenal dan terus berkembang dalam tiga jenis hubungan. Pertama, penguasa yang merupakan para penguasa di pelabuhan-pelabuhan yang berdekatan dengan sungai-sungai besar, yang dapat mengendalikan pergerakan dari daerah pedalaman menuju wilayah pantai, dan sebaliknya. Kedua, produsen dalam bidang kehutanan, pertanian, dan pertambangan yang membawa kemakmuran bagi kerajaan. Ketiga, pelaut kerajaan yang kadang-kadang independen yang melindungi wilayah kerajaan dari para bajak laut yang jahat, mengawaki kapal armada dagang. Keempat, pemukiman atau pusat-pusat kota terbentuk di pinggir pantai dan di daerah pedalaman yang saling bekerjasama dalam hal perdagangan. Kelima, Selat Malak dan Selat Sunda (Pulau Jawa) menjadi wilayah yang ramai di kunjungi dan terjadi kontak antar budaya. Keenam, suku-suku pelaut terbentuk dalam kelompok-kelompok pelaut nomaden seperti Mawken yang merupakan kelompok manusia perahu, dan disekitar Kalimantan dan di Selat antara Singapura dan Sumatra, terdapat komunitas orang laut, seperti Orang Tambus, Orang Mantang, Orang Barok, Orang Galang, Orang Sakanak, Orang Bajau, Orang Posik, Orang Moro, dan Orang Sugi[32] yang dapat diteliti lebih jauh mengenai asal-usulnya.


Daftar Referensi
Anthony Reid. 2011. Asia Tenggara dalam Kurun Niaga 1450-1680. Jilid II. Jakarta: Pustaka Obor Indonesia.
Bambang Budi Utomo. 2011. Kebudayaan Zaman Klasik Indonesia di Batanghari. Jambi: Dinas Kebudayaan dan Pariwisata.
Gusti Asnan. 2007. Dunia Maritim Pantai Barat Sumatra. Jogjakarta: Ombak.
Kardiyat Wiharyanto. 2006. Sejarah Indonesia Madya Abad XVI-XIX. Jogjakarta: Sanata Dharma
Sartono Kartodirdjo. 2014. Pengantar Sejarah Indonesia Baru 1500-1900 Dari Emporium sampai Imporium, Jogjakarta: Ombak
Supraktikno Rihardjo.2007. Kota-Kota Pra Kolonial Indonesia. Jakarta: Komunitas Bambu.
Muhammad Iskandariah.  Nusantara dalam era Niaga sebelum Abad ke 19 http://wacana.ui.ac.id/index.php/wjhi/article/viewFile/306/289. di akses tanggal 20-3-2017
Robert Dick Read. 2008. Penjelajah Bahari. Bandung: Mizan
Coedes. 2014. Kedatuan Sriwijaya. Edisi II. Jakarta: Komunitas Bambu.


[1] Anthony Reid. Asia Tenggara dalam Kurun Niaga 1450-1680. Jilid II. (Jakarta: Pustaka Obor Indonesia.2011), hlm 45
[2] Orang Eropa menerima istilah itu sebagai monsoon untuk menggambarkan keteraturan yang luar biasa mengenai angin di Asia Tropis. Lihat Reid. Hlm  77.
[3] Reid. Ibid. hlm 77
[4] Reid. Ibid. hlm 78
[5] Gusti Asnan. Dunia Maritim Pantai Barat Sumatra. (Jogjakarta: Ombak. 2007) hlm, 27
[6] Reid. Ibid. hlm 61
[7] Kardiyat Wiharyanto. Sejarah Indonesia Madya Abad XVI-XIX. (Jogjakarta: Sanata Dharma,, 2006) hlm, 4
[8] Kardiyat Wiharyanto. Ibid. hlm 4
[9] Supraktikno Rihardjo. Kota-Kota Pra Kolonial Indonesia. (Jakarta: Komunitas Bambu. 2007) hlm 31
[10] Rihardjo. Ibid. hlm 37
[11] Gusti Asnan. Dunia Maritm Pantai Barat Sumtra. (Jogjakarta: Ombak. 2007) hlm 24
[12] A. Kardiyat Wiharyanto.Sejarah Indonesia Madya. (Yogyakarta: Universitas Sanata Dharma, 2006) hlm. 5
[14] Gusti Asnan. Op.Cit. hlm 48
[15] Reid. Op.cit. Hlm 78
[16] Supraktikno Rihardjo. Kota-Kota Pra Kolonial Indonesia. (Jakarta: Komunitas Bambu. 2007) hlm. 25
[17] Rihardjo. Ibid. hlm 32
[18] Muhammad Iskandariah. Nusantara dalam era Niaga sebelum Abad ke 19 http://wacana.ui.ac.id/index.php/wjhi/article/viewFile/306/289. di akses tanggal 20-3-2017
[19] Rihardjo. Ibid. hlm 27
[20] Robert Dick Read. Penjelajah Bahari. (Bandung: Mizan, 2008) hlm 78
[21] Robert Dick Read. Ibid. hlm 78-79
[22] Muhammad Iskandariah. Ibid. Hlm 176-177
[23] Coedes. Kedatuan Sriwijaya. (Jakarta: Komunitas Bambu. Edisi ke II. 2014) hlm 316
[24] Coedes. Ibid. hlm 317
[25] Coedes. Ibid. hlm 317,319
[26] Bambang Budi Utomo. Kebudayaan Zaman Klasik Indonesia di Batanghari, (Jambi: Dinas Kebudayaan dan Pariwisata, 2011), hlm 6
[27] Sartono Kartodirdjo. Pengantar Sejarah Indonesia Baru 1500-1900 Dari Emporium sampai Imporium, (Jogjakarta: Ombak, 2014) hlm 78
[28] Sartono kartodirdjo. Ibid. hlm 21
[29] Ibid, hlm 22
[30] Protagonis dalam KBBI adalah tokoh utama. Dalam hal ini di daerah-daerah  Tuban, Gresik, dan Cirebon terdapat tokoh-tokoh ulama atau agama yang beragama Islam.
[31] Sartono Kartodirdjo. OpCit. Hlm 23
[32] Robert Dick Read. Penjelajah Bahari. (Bandung: Mizan, 2008) hlm 78

Komentar

Postingan Populer