Masyarakat Tionghoa: Dari Masa ke Masa
Masyarakat Tionghoa: Dari Masa ke Masa
Oleh
Satriyo Pamungkas
- Tionghoa di masa VOC
Pada
zaman VOC, belum ada peraturan tentang kewarganegaraan pada waktu itu.
Perbedaan bukan dilakukan antara warga negara dan “ orang Asing “. VOC lebih
banyak memperhatikan sifat-sifat lahir atau lain-lain kriteria, apakah orang
itu pejabat VOC atau orang bebas atau orang budak. Apakah itu orang kristen dan
orang bukan kristen. Apabila orang-orang tionghoa pada zaman VOC, menggap
dirinya bangsa tionghoa dan mengaku sebagai bengsa tionghoa, sah-sah saja,
sebab pada waktu itu negara kesatuan republik Indonesia ( NKRI ) belum ada. VOC
tidak menggap mereka sebagai bangsa belanda. Tetapi negeri Tiongkok pada masa
“Dinasti Manchu” menganut azas ius sanguinus, menggap semua rakyat yang
merantau ke luar negri tetap merupakan bangsa Tionghoa
Kemudian dari VOC beralih ke
pemerintahan Hindia Belanda, pada kitab undang-undang dasar Hukum Perdata
Belanda tahun 1883. peranakan Tionghoa (orang-orang tionghoa yang di lahirkan
di Hindia Belanda) di anggap sebagai orang belanda, tetapi hanya sebatas hukum
perdata. Dalam hal-hal lain di anggap warga asing. Meskipun peranakan tionghoa
mendapatkan status Civiel Nenderlander,
dalam praktek sehari-hari mereka di perlakukan sebagai orang asing, sedangkan
negeri leluhurnya, waktu itu di nasti Machu tetap menganggap mereka sebagai
warga negara tionghoa, sebagai bangsa Tionghoa. Maka apabila orang-orang
tionghoa pada waktu itu, menyatakan diri mereka sebagai bangsa Tionghoa, dapat
di benarkan.
Tahun 1909, pemerintah tiongkok
sudah berubah dari “ Dinasti Manchu “ menjadi “ Chung Hua Ming Kuo “ DPR
Republik Of China pada waktu itu menetapkan undang-undang kewarganegaraan
tiongkok. Di dalamnya dinyatakan bahwa rakyat Tionghoa dalam perantauan tetap
warga negara Republik Of China, bahkan dari total 274 kursi DPR, 6 kursi di
sediakan bagi Tionghoa perantauan.
Tahun 1910, Pemerintahan Hindia
Belanda menetapkan UU kekaulanegaraan Belanda tahun 1910 itu menganut azas ius
soli (berdasarkan tempat kelahiran). Jadi semua orang yang di lahirkan di
wilayah Hindia Belanda di pandang sebagai kaula negara belanda bukan warga
negara belanda. Dengan demikian apabila pada waktu itu ada orang-orang tionghoa
di Indonesia yang menyatakan dirinya sebagai bangsa Indonesia, tidak dapat disalahkan.
- Tionghoa Pada masa pemerintahan orde
baru
Bangsa
Indonesia kalau kita perhatikan sangatlah unik, karena merupakan berbagai
campuran suku bangsa yang tersebar di seluruh kepulauan nusantara, di tambah
lagi dengan adanya suku pendatang seperti dari Cina, Arab, India serta Eropa.
Orde Baru, pada masa pemerintahan
soeharto, orang Tionghoa di Indonesia di perlakukan seperti bangsa peria.
Berbagai kegiatan mereka di batasi. Sekolah ekslusif orang Cina dibubarkan. Media
masa dalam bahasa cina dilarang. Bahkan kegiatan keagamaan orang Cina dipersulit,
kadang di larang secara halus.[1] Di masa pemerintahan orde baru ini, memang ada sekelompok orang Cina
mendukung komunisme. Yakni partai politik Baperki. Tetapi banyak pula yang
menyerang bahkan membela Negara Indonesia dari komunis dan juga berjuang keras
dari penjajahan yang di lakukan Belanda di Indonesia. Tetapi apa yang terjadi
masa revolusi pemerintah militer main pukul rata. Yang menganggap orang Cina
adalah pendukung komunis dan harus di berantas. akibatnya masyarakat Cina dilarang
melakukan kegiatan keagamaan dan kebudayaan. Selain itu pada masa pemerintahan
Orde Baru pemerintah Soeharto menerapkan pelarangan penggunaan aksara hingga
nama Tionghoa. Tetapi
apa yang didapat hanya konflik dan diskriminasi sosial yang tidak bisa diatasi.[2]
Bahkan
ketika jatuhnya rezim soeharto banyak toko-toko orang tionghoa yang di jarah
barang-barang daganya oleh penduduk pribumi. Kejadian itu sangat memukul hati
dan perasaan masyarakat tionghoa yang ada di Indonesia, padahal tidak sedikit
peran dari masyarakat tionghoa sendiri yang mempunyai konstribusi bagi
kemerdekaan bangsa Indonesia.
- Tionghoa Pada Masa Demokrasi
Seperti kita ketahui setelah jatuhnya pemerintahan rezim Orde Baru
pimpinan Presiden Soeharto yang dan berlangsungnya reformasi serta
berkembangnya demokrasi, posisi etnis Tionghoa di Indonesia semakin lama semakin
baik. Nyaris seluruh undang-undang dan peraturan yang rasis dan diskriminatif
peninggalan pemerintah kolonial Hindia Belanda dan pemerintahan Presiden
Soekarno maupun Presiden Soeharto telah berhasil dilikuidasi. Dimulai dengan
dicabutnya seluruh larangan-larangan yang memojokkan etnis Tionghoa seperti
larangan melakukan ritual agama dan adat istiadat dan budaya Tionghoa secara
terbuka serta larangan bahasa dan aksara Tionghoa oleh Presiden K.H.
Abdurrahman Wahid. Kemudian disusul keluarnya Keputusan Presiden Megawati yang
menyatakan Tahun Baru Imlek menjadi hari libur nasional dan yang terakhir agama
Khonghucu dikembalikan menjadi agama resmi oleh Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono
Dalam situasi yang semakin kondusif ini maka lahirlah berbagai organisasi-organisasi
Tionghoa di Indonesia. Pertama organisasi-organisasi Tionghoa yang dibentuk
oleh golongan peranakan. Ada yang berbentuk Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM)
seperti Solidaritas Nusa Bangsa (SNB) dan Gerakan Anti Diskriminasi (GANDI),
ada partai politik seperti Partai Reformasi Tionghoa Indonesia (PARTI) dan
Partai Bhinneka Tunggal Ika (PBI). Ada juga
organisasi massa
yang dibentuk oleh campuran golongan peranakan dan totok seperti Panguyuban
Sosial Marga Tionghoa (PSMTI) dan Perhimpunan Indonesia Tionghoa (INTI).
Organisasi-organisasi ini ada yang masih bertahan, aktif bahkan berkembang
tetapi ada juga yang sudah mengendur bahkan ada yang sudah nyaris mati. .[3]
Setelah
pemerintahan Soeharto tumbang berbagai hak orang cina atau orang tionghoa ini
di kembalikan mereka di perkenankan merayakan berbagai kegiatan Kebudayaan dan
keagamaan. Perjuangan orang cina dalam menegakan kedaulatan bangsa indonesi di
bahas lagi. Dengan kata lain orang tionghoa atau orang cina ini bebas
berekspresi.
Melihat
apa yang terjadi di masa pemerintahan soeharto itu, marilah kita di masa
demokrasi ini yang semuanya semakin baik, di harapkan saling mengevaluasi diri
baik orang tionghoa maupun bumi putra, dan juga dalam tingkat kelompok atau
masyarakat dan juga harus adanya saling keterbukaan dari hati yang menginginkan
kehidupan yang harmonis di masyarakat. Hal ini jaganlah semata mata terpokus ke
pada suku pendatang dari Cina saja tetapi bagi seluruh suku yang ada di
Indonesia. Agar hubungan harmonis yang ada di dalam masyarakat Indonesia secara
umum dan di Jambi secara khusus dapat selalu terjalin denga baik.
Komentar
Posting Komentar