Nasionalisme Tionghoa di Indonesia terhadap Kemerdekaan Indonesia
Nasionalis Tionghoa Di Indonesia Terhadap Kemeredekaan Indonesia
Oleh
Satriyo Pamungkas
Pada saat pelaksaan persiapan hari
kemerdekaan, warga etnis tionghoa mempunyai andil yang tidak sedikit, seperti
saat pembentukan panitia persiapan kemerdekaan Indonesia dengan ketuanya Ir. Soekarno,
terdapat Drs. Yap Tjwan Bing sebagai anggota yang mewakili etnis Tionghoa.[1] Hal ini menunjukan bahwa etnis Tionghoa
merupakan bagian yang tak terpisahkan dari perjuangan rakyat Indonesia untuk
memperoleh kemerdekaan. oleh karena itu, tak lagi layak jika di kemudia hari
masih ada anggapan bahwa warga etnis Tionghoa bukanlah anak bangsa.
Dalam perang di Aceh peran warga Tionghoa
juga tidak dapat di abaikan, terutama bantuan dari para pedagang Tionghoa. Para
pedagang Tionghoa, selain telah menyulitkan tentara pasukan Belanda di Aceh
dalam penerobosan blokade Belanda, juga sebagai pemasok senjata bagi para
pejuang Aceh.[2] Tindak kekerasan di lancarkan VOC
saat itu sehingga lahirlah perjuangan heroik yang dilakukan oleh warga Tionghoa,
peristiwa ini akhirnya di kenang sebagai peristiwa bersejarah atas keberaniaan
warga etnis tionghoa dalam melawan kesewenagan VOC di tahun 1740, yang di sebut
sebagi tragedi angke.[3]
Perang Di Rembang 1827 perang yang menurut
Belanda sangat mendadak dan sangat berbahaya. Cepatnya peperangan ini tidak lepas
dari bantuan warga etnis Tionghoa yang saat itu tinggal di timur Rembang yaitu
Lasem, sebuah pelabuhan tua. Bantuan yang di berikan pada saat itu bukan hanya
bantuan personil yang secara aktif bergabung dan membantu pasukan tumenggung
Sosro Dilogo, tetapi juga pasokan senjata yang di selundupkan dari singgapura
ke Rembang melalui pelabuhan Lasem.[4]
Di Kalimantan Barat, perlawanan terhadap
pemerintah Hindia Belanda juga banyak di lakukan oleh warga etnis tionghoa,
Mereka kebanyakan tinggal di daerah mandor, Montrado, dan lumar yang terdiri
atas suku Hok Lo dan Hak ka serta berfrofesi sebagai pendulang Emas. Mereka
banyak memperlihatkan sikap permusuhan terhadap belanda, mereka menolak keras
atas pembayaran pajak langsung atau membayar cukaibuat mandat dan garamnya.
Melihat aksi penolakan ini, pada bulan juni 1825 belanda menggirimkan 600 orang
serdadu untuk menghancurkan warga etnis tionghoa.
Perang di ponegoro berlangsung selama 5
tahun, menewaskan serdadu belanda sebanyak 8 ribu jiwa dan menghabiskan biaya
sebanyak 20 juta Gulden. Pada awal perang di ponegoro, banyak warga etnis
tionghoa yang igin bergabung sebagai anggota perang oleh karena itu penggeran
di ponegoro menggeluarkan intruksi agar mereka masuk ke dalam agama islam terlebih
dahulu. Peran warg etnis tionghoa dalam perang diponegoro sangat besar, selain
sebagai anggota pasukan, terutama dalam penyediaan senjata. [5]
Nasionalisme warga etnis tionghoa
sebenarnya sudah terlihat sejak VOC berniat untuk mengguasai banten pada tahun
1753. sumbang sih warga etnis tionghoa kepada perjuangan rakyat banten melawan
VOC teidak dapat begitu saja di lupakan. Saat itu banyak warga etnis tionghoa
yang sama-sama berjuang denga pendudu setempat melawan penjajah belanda. Akan
tetapi sulit untuk menentukan berapa jumlahnya mereka secara pasti, sebab
mereka sudah banyak yang berasimilasi, bukan saja menggunakan nama pribumi
tetapi juga memasuki adat istiadatnya. Salah satunya yaitu tjong Lin, yang
membantu sultan ageng tirtayasa denga menjadi mata- mata bagi banten, dia
akhirnya di tangkap dan di gantung setelah di siksa oleh belanda.
Komentar
Posting Komentar